Sabtu, 29 Maret 2014

Kala Iman Melemah

Matius 11:2-6
(2) Di dalam penjara Yohanes mendengar tentang pekerjaan Kristus, (3) lalu menyuruh murid-muridnya bertanya kepada-Nya: "Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?" (4) Yesus menjawab mereka: "Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: (5) orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. (6) Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.
...
Yohanes Pembaptis dipenjara karena menegur raja Herodes perihal tindakan sang raja yang menikahi iparnya sendiri.  Saya membayangkan apa yang dirasakan oleh Yohanes, sungguh sebuah ketidakadilan ketika harus dipenjara karena menyuarakan kebenaran, sangat tidak adil.  Yang menarik, di dalam penjara, Yohanes mengutus muridnya untuk kembali menanyakan kemesiasan Yesus.  Padahal, dialah yang pertama menyerukan kemesiasan Yesus.  Mengapa bisa demikian?
Saya kira Yohanes mengalami pergumulan yang begitu berat; mengalami ketidakadilan, dipenjara, padahal dia tidak berbuat salah. Di samping itu dialah yang memberitakan kedatangan Mesias yang membebaskan manusia, malah kini ia yang sementara terbelenggu. Ironis bukan?  Secara sederhana, mungkin Yohanes berpikir demikian, "jika Mesias itu telah datang, mengapa saya harus berakhir di dalam penjara?"

Ketika membaca bagian ini, saya menyadari bahwa Inilah realita manusia dalam pergumulan imannya. Orang sekaliber Yohanes Pembaptis pun bisa sampai meragukan kembali imannya.  Tak jarang saya menemukan banyak anak Tuhan yang kembali bertanya akan kuasa dan keberadaan Tuhan dalam hidup mereka.  Di kala tekanan pekerjaan yang kunjung reda, masalah yang begitu berat dan nampak tidak teratasi, keadaan ekonomi yang tidak kunjung membaik, dan sebagainya. Orang menjadi bertanya, di manakah Engkau Tuhan? Mengapa Engkau tidak menjawab doaku? Saya rasa, manusiawi banget, toh Yohanes pun mengalaminya.

Yesus menjawab pertanyaan Yohanes itu dengan bukti nyata, sebagaimana telah dinubuatkan para nabi (Yes. 29:18-19, 35:5-6, 53:4, 61:1); buta melihat, lumpuh berjalan, kusta menjadi tahir, tuli mendengar, yang mati dibangkitkan, miskin mendengar kabar baik.  Hal ini sudah menjadi bukti sahih mengenai kemesiasannya.  Saya kira yang apa yang menjadi masalahnya adalah bukan kemesiasan Yesus itu sendiri, melainkan sebuah "kelelahan untuk beriman."

Seumur hidup, saya tidak pernah melihat ada seorang yang menggunakan gadgetnya, lantas ketika baterainya habis, dia langsung membuang gadget tersebut.  Bahkan saya rasa orang super kaya pun tidak sebodoh itu, sangking karena terlalu kayanya, hingga memakai gadget sekali langsung buang (kalau ada, tolong kasih tahu saya. :p dengan senang hati saya tampung).  Adalah normal ketika memakai gadget, menjalankan aplikasi2 tertentu, lantas baterainya menjadi habis.  Tentu yang kita lakukan adalah kembali men-charge-nya. Mengisi kembali dayanya. Saya rasa, pada titik tertentu, iman kita pun sama dengan gadget itu. Bukankah wajar ketika dalam perjalanan iman, kita kelelahan, ada banyak masalah, dan baterai iman kita makin surut.

Kawan, jangan langsung membuang iman kita hanya karena baterainya sudah mau habis. :) Mari charging kembali, mari colok kembali pada firman Tuhan, mari colok lagi iman kita pada doa, mari colok kembali kepada-Nya.  Tuhan Yesus begitu menghargai keberadaan Yohanes Pembaptis, dan perkenanan-Nya tidak pernah beranjak darinya.  Demikian juga dengan kita.

Kawan, apakah engkau sementara mengalaminya? Mari colok kembali iman kita pada sumber yang tepat.

Soli Deo Gloria.

Kamis, 27 Maret 2014

Menolak yang Berharga

Matius 10:14-15
Dan apabila seorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya pada hari penghakiman tanah Sodom dan Gomora akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu.
...
Barry Silkman baru saja menutup teleponnya dengan gusar. Bagaimana tidak? Agen pemain tersebut baru saja ditolak mentah2 oleh Newcastle United, sang runner up Premier League tahun 1996.  Kubu Newcastle baru saja mengeluarkan sebuah kalimat kecut baginya, "mengapa kami harus mengeluarkan uang untuk pemain yang tidak jelas? Kami masih punya Tim Sherwood, kami tidak butuh pemain lagi, apalagi pemain baru seperti dia."  Padahal sang agen sudah berusaha menawarkan pemain ini dengan harga yang cukup murah, 1.2 juta pound, untuk sebuah pemain potensial.  Tak dinyana, sang pemain potensial ini pun kemudian dibeli oleh sebuah klub Italia yang berani membayar lebih, 3.2 juta pound.  Sang pemain itupun pindah dari klub lamanya, Bordeaux, menuju juara Italia, Juventus.  Sang pemain yang ditolak Newcastle ini, kemudian dikenal dunia sebagai pemain terhebat dan termahal pada masanya, yakni Zinedine Zidane.  Apakah Newcastle menyesal? Pasti.

Teman, demikian juga dengan berita Injil yang juga ditolak oleh banyak orang.  Berita tentang kasih Allah atas manusia pendosa, Yesus yang mati untuk menebus mereka, juga hidup baru yang menuhankan Kristus dan kembali memiliki hubungan yang dekat dengan Allah bukanlah sebuah berita yang menarik bagi banyak orang.  Mereka lebih senang dengan kehidupan lama mereka, tidak suka diusik dengan teguran akan dosa dan berita anugerah Allah.  Sebagian orang menganggap berita Injil sebagai berita yang ketinggalan zaman, tidak relevan, dan agak aneh.  Sebagian lagi bahkan menertawakan berita itu, bahkan memandang rendah kasih Allah yang ditawarkan pada mereka.

Bagi orang-orang yang demikian, Tuhan Yesus berpesan kepada para murid-Nya, untuk mengebaskan debu kakinya.  Tindakan ini adalah sebuah tindakan yang menunjukkan sebuah pemisahan antara mereka yang percaya dan mereka yang menolak untuk percaya.  Yesus mewanti-wanti mereka yang menolak untuk percaya, bahwa hari penghakiman akan datang, dan tanggungan mereka akan lebih berat dari Sodom dan Gomora.  Sodom dan Gomora adalah kota yang dihukum dengan hujan belerang karena dosa-dosa mereka yang begitu berat.  Namun bagi mereka yang menolak Kristus, hukuman mereka akan lebih berat, karena Sodom dan Gomora saat itu belum pernah mendengar Injil, sementara mereka yang menolak Kristus sudah memiliki kesempatan itu, tetapi menolaknya mentah-mentah.

Beberapa kali ketika memberitakan Injil, tidak jarang saya melihat begitu banyak orang memandang enteng berita anugerah Allah.  Saya bahkan beberapa kali habis akal, bagaimana caranya menyadarkan mereka untuk menginsafi dosa mereka, untuk membuka pikiran mereka bahwa mereka butuh Kristus dalam hidup mereka.  Namun inilah faktanya, bahwa akan ada orang-orang yang menolak Dia.  Manusia lebih memilih apa yang menyenangkan dirinya, dan mereka tak dapat mengenali apa yang paling penting bagi diri mereka sendiri.  Bagi saya, sangat sedih, ketika orang-orang memandang rendah berita salib Kristus, padahal mereka tidak sadar siapa yang sedang mereka tolak.

Teman, berada di pihak manakah kita? "Newcaste" atau "Juventus?"  Menolak Dia atau menerima, bahkan berani "membayar lebih" untuk mendapatkan Dia?

Rabu, 26 Maret 2014

Menertawakan Yesus

Matius 9:18, 23-24
Sementara Yesus berbicara demikian kepada mereka, datanglah seorang kepala rumah ibadat, lalu menyembah Dia dan berkata: "Anakku perempuan baru saja meninggal, tetapi datanglah dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, maka ia akan hidup."
...Ketika Yesus tiba di rumah kepala rumah ibadat itu dan melihat peniup-peniup seruling dan orang banyak ribut, berkatalah Ia: "Pergilah, karena anak ini tidak mati, tetapi tidur." Tetapi mereka menertawakan Dia.

...
Menertawakan Tuhan Yesus, mungkin bagi kita adalah sebuah tindakan yang kurang ajar.  Bagaimana mungkin orang2 tsb menertawakan Dia yang adalah Tuhan? Konyol. Namun kita mungkin terlalu percaya diri, dan bagaimana jika seandainya kita ada dalam posisi orang2 itu?  Belum tentu kita pun tidak mentertawakan Yesus.  Kasusnya adalah kematian, maut!  Siapa yang bisa membangkitkan orang mati? Sementara itu muncul seseorang yang mengaku bahwa sang anak ini bukanlah mati, melainkan tertidur.  Bukankah hal ini terdengar "konyol?"  Ini adalah respon yang sangat wajar, bahkan mungkin saja jika kita di sana, kita pun menertawakan Dia.

Zaman ini pun banyak orang sedang "menertawakan" Tuhan Yesus.  Mereka menertawakan ajaran-Nya, "gak mungkin hidup suci di dunia ini!" Atau mungkin dengan cara yang demikian, "Yesus? gak zaman lagi ngomongin tuhan2an!"  Dengan kata lain, mereka menyangkali otoritas Yesus sebagai Tuhan.

Teman, tak jarang di dalam hidup ini kita pun demikian. Kita mungkin mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, namun pada kenyataannya pengakuan itu hanya sebatas tahu dan untung2an kalau sampai yakin.  Namun Kita jarang sekali menyerahkan diri (pikiran, kehendak, dan perbuatan) kepada Dia.  Apa yang Alkitab katakan, kita anggap sebagai sederet aturan agama, yang tidak relevan bagi kita.  Hal itu hanya bisa dijalankan oleh mereka yang "suci," atau secara sederhana, kita anggap "freak."  Kita lebih menjunjung pikiran kita, dan juga nilai2 hidup yang kita pegang selama ini, tanpa mengizinkannya tergantikan oleh sebuah kepercayaan penuh kepada Allah.  Padahal, percaya penuh kepada Allah berarti mengizinkan setiap nilai dan kehendak-Nya untuk menggantikan nilai2 hidup kita.  Namun, kita lebih suka menegosiasikannya.

Teman, bukankah kita lebih sering menertawakan Dia? Di gereja kita hadir, namun jiwa dan pikiran kita tidak kita tundukkan pada-Nya. Lantas di luar kehidupan gereja, kita menyangkal-Nya dengan hidup "semau gue."  Kita sementara memandang rendah Sang Pencipta.  Ketika menghadapi masalah, kita mungkin berdoa.  Namun setelah berdoa, kita lantas berkutat dan bertindak sesuai dengan idealisme kita.  Kita menyangkali kuasa dan rencana Tuhan.  Bukankah kita sedang menertawakan Dia?

Lantas bagaimana dengan hidupmu akhir2 ini, apakah engkau sedang menertawakan Dia?

Jumat, 01 April 2011

Berteologi dalam Irama Reality Show

Pagi ini penulis berkesempatan menonton sebuah acara reality show yang ditampilkan oleh salah satu stasiun televisi lokal. Acara tersebut secara khusus menampilkan sebuah realita kehidupan kaum marjinal yang terhimpit oleh kerasnya kehidupan saat ini. Sebuah keluarga yang sangat sederhana, bahkan bisa dikatakan berada di bawah garis normal, terlilit hutang kepada berbagai pihak. Kedua orang ini bekerja keras demi membiayai sekolah kedua anaknya yang masih SD tersebut, namun apa daya, penghasilan yang didapat tak dapat memenuhi tuntutan biaya sekolah. Tim reality show mengunjungi keluarga ini, dan singkat cerita, mereka membantu melunasi hutang sekolah anak-anaknya. Keluarga ini sangat bersukacita, deraian air mata mengalir dengan deras ketika mengetahui bahwa kedua anak mereka dapat bersekolah lagi. Menariknya, di akhir dari acara ini, ditampilkan sebuah tulisan, “Selalu ada harapan bagi mereka yang menanti-nantikan TUHAN.” Penulis terhenyak, kaget bukan kepalang. Mengapa? Pertama, awalnya memang ada kecurigaan dalam diri penulis terhadap keotentisitasan reality show ini, karena image sebuah acara reality show selama ini yang lekat dengan rekayasa. Namun ketika menyaksikan acara ini, dalam asumsi penulis tentunya, perlahan-lahan image itu meluruh, dan penulis dapat melihat sisi keotentisitasan kisah yang ditampilkan ini. Tentu penulis punya alasan yang kuat, dan tentunya tulisan ini tidak sedang membahas keaslian acara reality show ini.  Singkatnya, penulis yakin bahwa kisah yang ditampilkan adalah sebuah fakta dan realita yang tidak diekploitisir dengan tidak bertanggungjawab. Kedua, penulis terkejut ketika sebuah tulisan seperti yang telah disebutkan di atas tampil di akhir acara. Tidak banyak acara, bahkan hanya dihitung dengan jari saja, yang menampilkan wacana semacam itu dengan jelas. Tulisan tersebut, singkat, namun sangat bermakna. Bermakna kepada setiap penontonnya, semua lapisan, apa lagi ketika ada yang memiliki pergumulan serupa, yakni untuk menaruh harapan kepada Tuhan. Ketiga, penulis mendapati bahwa reality show ini ternyata dikonsep oleh seorang hamba Tuhan, yang namanya tidak asing di telinga penulis. Memang hamba Tuhan tersebut memiliki beban khusus untuk melayani kaum marjinal. Namun bagi penulis, inilah salah satu terobosan dalam kehidupan kesaksian iman Kristen di negeri ini. Penulis merasa, sedikit sekali metode kreatif yang digunakan untuk mewartakan kesaksian iman Kristen sampai saat ini. Inilah salah satu metode kreatif tersebut, menampilkan kesaksian iman Kristen, sekaligus mewartakan firman Tuhan dengan cara yang kontekstual. Reality show ini membuat penulis kembali merefleksikan sejauh mana iman Kristen bergaung dalam kehidupan berbangsa saat ini. Di tengah maraknya filsafat dunia dan turbulensi budaya saat ini, bagaimana iman Kristen digaungkan? Dalam titik tertentu, iman Kristen digaungkan tanpa strategi. Bermakna, namun tidak up to date. Bagaikan sebuah produk unggulan, namun minim kemasan dan promosi. Alhasil, iman Kristen akhirnya lekat dengan sebuah citra iman tradisional, yang tenggelam oleh pergeseran filsafat dan budaya masa kini. Dalam praktiknya, masih banyak orang-orang di luar sana yang tidak terjangkau, baik secara berita iman, maupun sentuhan kasihnya. Oleh karena itu, penulis berpikir, setidaknya ada dua hal yang perlu untuk diperhatikan mengenai hal ini. Pertama, berita iman Kristen perlu digaungkan dengan strategi yang tepat dan benar. Tepat, berarti hal ini digarap secara up to date, kontekstual, bijaksana, dan terorganisir. Benar, berarti hal ini dilakukan dengan maksud yang murni, yakni untuk mengabarkan berita keselamatan kepada semua bangsa. Biarlah Injil Kristus dikumandangkan kepada semua lapisan; baik mereka yang marjinal, ataupun mereka yang non-marjinal; baik mereka yang tidak terdidik, maupun mereka yang terdidik; semua orang. Kedua, berita iman Kristen perlu digaungkan dengan makna. Bagi penulis, berita tersebut harus menjelma menjadi sebuah makna, bukan hanya sebuah wacana dogmatis belaka, namun menjadi sebuah praksis kasih Kristus yang diwartakan. Kasih Allah itulah yang menjadi pendobrak bagi kekerasan hati manusia; yakni kasih Allah yang dinyatakan melalui anak-anak Tuhan, Anda dan saya. Mungkin kita perlu memaknai kata-kata yang diucapkan oleh Mother Theresa, salah satu hamba Tuhan yang juga mewartakan berita kasih Allah ini: "Spread the love of God through your life but only use words when necessary." Penulis, menitikkan air mata ketika ending acara ini menunjukkan bagaimana keluarga ini melunasi hutang biaya sekolah. Penulis membayangkan, bagaimana mereka bersyukur, ketika program reality show ini muncul sebagai jawaban pergumulan mereka. Entah keluarga ini sudah mengenal Allah ataukah belum, namun penulis berharap dan berdoa, melalui program ini, mereka dapat mengenal Kristus. Faktanya, masih banyak mereka di luar sana, yang hidup dalam pergumulan, menantikan pertolongan Tuhan melalui anak-anak Tuhan, Anda dan saya. Entah mereka sudah mengenal Tuhan atau belum, namun tugas kita adalah mewartakan kasih Allah ini kepada mereka, sampai kedatangan Tuhan kembali. Berteologi dalam irama reality show, bukan berteologi dalam drama reality show. Berteologi dalam irama reality show, bukan berteologi tanpa reality. Berteologi dalam irama reality show, bukan satu-satunya, namun mungkin inilah salah satu jawaban bagi kita. Selamat memaknai dan berteologi. Salam dari Departemen Mata Kuliah Umum Universitas Kristen Petra.

Kamis, 03 September 2009

Surat Cinta Tuhan

Beberapa waktu yang lalu SAAT menyelenggarakan rangkaian ibadah pembukaan semester, dan puji Tuhan saya berada di sana. Pada saat itu firman Tuhan dibagikan oleh Pdt. John Elnathan, salah satu alumni SAAT yang saat ini melayani di Australia. Dengan sebuah antusiasme akan berita firman Allah yang akan menjadi pesan di awal semester, saya mulai mendengarkan khotbah dengan perlahan.
Menarik bahwa Pdt. John dalam khotbahnya tersebut menyebutkan sebuah istilah yang sudah lama sekali tidak saya dengar; surat cinta Tuhan. Ia menggambarkan firman Tuhan sebagai surat cinta dari Tuhan kepada umat-Nya. Jujur ketika mendengar istilah tersebut, pikiran saya menerawang jauh ke masa perkuliahan saya yang terdahulu, ketika saya masih akrab dengan komunitas interdenominasi kampus Petra yang banyak di antaranya berasal dari kaum karismatik.
Dalam banyak perbincangan tentang makna firman Tuhan, banyak di antara mereka mengatakan bahwa firman Tuhan adalah sebuah surat cinta dari Tuhan. Benar memang, namun sering kali pikiran saya tergelitik dengan istilah tersebut. Banyak di antara mereka yang asal menyebut istilah tersebut tanpa benar-benar mengerti makna dari istilah tersebut. Sering juga saya dapati istilah itu hanyalah menjadi sebuah slogan yang marak digunakan karena mereka sering mendengar istilah itu dari pendetanya.
Saya tidak membahas istilah ini untuk lebih jauh, namun yang menjadi perhatian saya adalah respon hati saya ketika mendengar istilah tersebut. Jujur ketika mendengar khotbah Pdt. John melalui istilah tersebut, kecenderungan hati saya akan menerima istilah itu dengan mudah. Saya tersentak, saya mendapati diri saya berada di dalam sikap hati yang tidak tepat. Maksud saya adalah terdapat perbedaan pada sikap hati saya ketika mendengar firman Tuhan dari seorang pengkhotbah yang "terkenal" dengan firman Tuhan dari sharing orang yang "biasa-biasa saja." Saya terkejut bahwa ada kecenderungan hati ini untuk mendengar dari siapa, bukan mendengar apa yang diberitakan. Saya terkejut bahwa saya cenderung memperhatikan siapa yang memberitakan, bukannya apa yang diberitakan.
Kalau pemberitanya adalah orang yang kita hormati, maka kita akan mudah menerimanya. Namun kalau pemberitanya adalah orang yang biasa-biasa saja, maka ada kecenderungan untuk meremehkannya, komentar kita adalah, "itu mah, saya sudah tahu." Sikap hati seperti ini seringkali menghambat kita untuk mendengar firman Tuhan dan akhirnya kita mendapati diri kita kehilangan maksud Tuhan dalam hidup kita.
Hati yang ingin terus dibentuk melalui firman Tuhan tanpa memperhatikan siapa yang menyampaikannya merupakan modal yang harus kita miliki. Sebuah istilah surat cinta Tuhan telah menjadi sebuah pembelajaran bagi respon hati saya. Bagaimana dengan kita?

Rabu, 19 Agustus 2009

Sobekan Kecil

Beberapa waktu yang lalu saya bersama dengan anak-anak se-MasTa di SAAT merayakan kedatangan rekan-rekan yang baru saja pulang dari liburan. Seperti biasa kami larut dalam keceriaan dan sukacita persekutuan bersama teman-teman yang telah lama tidak bersama-sama dengan kami. Ada Ce Merry yang kembali dari cuti satu semesternya, ada juga Cong Davit yang kembali dari cuti karena urusan keluarganya. Puji Tuhan kami bisa bersama-sama diproses kembali sebagai sebuah kesatuan masta M-VIII-1 (2008) di SAAT. Sekalipun sebenarnya saya sendiri beserta beberapa teman lain terdaftar sebagai angkatan “susulan”, tapi tak apa lah... Ntar aja lain kali kutulis unek-unek sebagai masta “tak jelas”...

Ketika larut dalam perayaan itu, terutama dalam sukacita melimpah karena oleh-oleh yang melimpah dari teman-teman, ada satu teman yang meminta tolong kepada saya untuk membukakan salah satu oleh-oleh. Ketika saya menyobek kemasannya, tidak seperti biasa saya akhirnya meninggalkan sobekan kecil kemasannya di tempat duduk kami sepanjang taman SAAT itu. Singkat cerita perayaan tersebut berakhir dan saya bermaksud untuk segera beranjak meninggalkan tempat duduk saya tadi. Letih, kedinginan dan kerinduan yang mendalam akan tempat tidur saya memaksa saya untuk cepat-cepat beranjak, namun setelah beberapa langkah saya teringat akan bekas sobekan kecil di tempat duduk tadi yang notabene telah menjadi sampah. Faktanya adalah saya menjadi terdiam sejenak, bergumul untuk kembali mengambil sampah tersebut atau meninggalkannya begitu saja. Jika saya meninggalkannya, toh akan ada orang lain, paling tidak cleaning service yang akan memungutnya, lagipula rayuan tempat tidur saya begitu menggoda. Saat itu saya hampir saja memilih untuk meninggalkannya, namun akhirnya saya berkata "tunggu" pada rayuan itu.

Saya kemudian menyadari bahwa posisi saya tersebut seringkali menggambarkan fenomena yang Yesus tekankan dalam salah satu prinsip kepemimpinan. Setia dalam perkara kecil. Saya menyadari bahwa sering sekali saya mengabaikan hal-hal yang nampaknya begitu kecil dan tidak signifikan dalam kehidupan ini. Namun sebenarnya tindakan kita yang kecil-kecil itulah yang sebenarnya paling sedikit menggambarkan karakter kita. Ada pepatah yang berkata kurang lebih seperti ini: sedikit-sedikit menjadi gunung. Saya pikir ada benarnya, kehidupan kita sering diperhadapkan dengan kejadian kecil, malah lebih banyak kejadian kecil daripada kejadian yang besar. Tentu perilaku-perilaku kecil yang kita tunjukkan dalam menghadapi peristiwa itu akhirnya menjadi sebuah perilaku dominan yang terjadi banyak kali dalam kehidupan kita. Bukankah hal ini yang seringkali menjadi makanan sehari-hari kita?

Sobekan kemasan yang telah menjadi sampah itu telah memberikan pelajaran yang berharga bagi saya. Bagaimana dengan Anda?

Jumat, 10 Juli 2009

Sebuah Pelajaran dari Bunga di Padang

Baru-baru ini saya sempat berjalan menyusuri jalan setapak di kampus tercinta SAAT. Ada satu hal yang menarik perhatian saya ketika menyusuri jalan setapak tersebut, dan akhirnya membuat saya berhenti lalu merenungkan sesuatu. Sekelompok bunga yang merekah dengan indahnya menunjukkan betapa kreatifnya Allah yang menciptakannya. Saya kemudian teringat dengan sebuah perkataan Tuhan Yesus mengenai sekuntum bunga ini.
Perhatikanlah bunga bakung, yang tidak memintal dan tidak menenun, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu (Luk. 12:27).
Perlahan-lahan saya mengamatinya dan akhirnya tersadar akan sesuatu. Allah yang luar biasa itu mengajak kita untuk menarik pelajaran dari sebuah hal yang kecil, yaitu bunga. Maka ijinkan saya untuk membagikan beberapa hal yang saya pelajari dari sekuntum bunga tersebut.

Pertama, bunga itu tumbuh dan merekah hari ini dan akan layu keesokan harinya. Saya mulai merenungkan hidup yang singkat ini. Kita hidup tenggelam dalam kesibukan dan aktifitas yang terus menuntut kita untuk bekerja dan bekerja. Ada juga di titik ekstrim yang lain kecenderungan untuk menyia-nyiakan waktu yang ada dengan hiburan atau hanya sekadar bermalas-malasan. Fakta berbicara bahwa seringkali kita melupakan bahwa hidup ini singkat. Saya menyadari bahwa kita agaknya lebih banyak menghabiskan waktu ini untuk sesuatu yang sia-sia. Begitu sedikitnya waktu yang kita pakai untuk merenungkan hidup kita di hadapan Allah yang mengaruniakannya. Saya takut jika suatu saat nanti Allah meminta pertanggungjawaban hidup ini dan kita tak dapat memberikan jawabannya karena kita terlalu sibuk dengan aktifitas harian kita tanpa mengerti kehendak Allah dalan keseharian hidup kita dan mengerjakan sesuatu yang benar-benar penting dalam hidup ini. Saya teringat dengan sebuah pepatah yang mengatakan bahwa berpikirlah sama seperti engkau akan hidup seratus tahun lagi, namun bertindaklah sama seperti engkau akan hidup satu hari lagi. Setiap orang menjalani hidup yang singkat, namun yang membedakannya adalah cara hidup dan hasil kerja mereka. Bunga itu begitu kecil dan seringkali tidak dianggap begitu penting, namun ia memilih untuk terus merekah karena  ia memang diciptakan untuk itu. Bagaimana dengan kita? Sekalipun hidup ini singkat, akankah kita akan "merekah", melakukan sesuatu yang harus kita kerjakan karena Allah menginginkannya, menjadi berkat bagi sekeliling kita?

Kedua, bunga itu merekah mengikuti arah sinar matahari. Saya akhirnya menyadari bahwa untuk merekah saja tidak cukup. Banyak orang yang kelihatannya sukses dan malakukan banyak hal kebaikan sehingga seringkali membuat orang lain terkagum-kagum. Namun yang menjadi pertanyaan adalah dengan dasar motivasi apakah ia melakukannya? Mengenai hal Tuhan Yesus pernah mengecam ahli taurat dan kaum farisi mengenai kemunafikan hati mereka yang berdoa di tempat umum dengan motivasi untuk dilihat orang (Mrk. 12:38-40). Kita seharusnya "merekah" dengan sebuah motivasi hati yang tertuju pada Allah. Allah sendiri menghendaki kita untuk menjadi garam dan terang bagi sekeliling kita. Kita melakukan perbuatan baik karena kita mengasihi Allah. Paulus juga menekankan pentingnya sebuah pekerjaan baik yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh sebagai sebuah cerminan dedikasi kita bagi Allah.
Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23).
Saya teringat dengan filosofi SAAT yang menjajarkan banyak hal tentang ini, "For Christ, For the Church, For the World, For the Glory of God." Motivasi hati yang sejati adalah motivasi hati yang diarahkan kepada Allah, untuk memuliakan nama Tuhan di manapun kita berada. Bukankah Kristus juga menghendaki kita untuk menjadi terang supaya dari perbuatan-perbuatan kita, orang dapat memuliakan Bapa di sorga (Mat. 5:16)?

Bunga itu terus tumbuh sekalipun begitu banyak resiko yang dihadapi, kepanasan, kehujanan, ditiup angin, diabaikan orang, bahkan diinjak oleh orang-orang takkan menyurutkannya untuk merekah bagi Allah dan sekelilingnya. Bagaimana dengan kita?

Soli Deo Gloria.
10 Juli 2009