Kamis, 03 September 2009

Surat Cinta Tuhan

Beberapa waktu yang lalu SAAT menyelenggarakan rangkaian ibadah pembukaan semester, dan puji Tuhan saya berada di sana. Pada saat itu firman Tuhan dibagikan oleh Pdt. John Elnathan, salah satu alumni SAAT yang saat ini melayani di Australia. Dengan sebuah antusiasme akan berita firman Allah yang akan menjadi pesan di awal semester, saya mulai mendengarkan khotbah dengan perlahan.
Menarik bahwa Pdt. John dalam khotbahnya tersebut menyebutkan sebuah istilah yang sudah lama sekali tidak saya dengar; surat cinta Tuhan. Ia menggambarkan firman Tuhan sebagai surat cinta dari Tuhan kepada umat-Nya. Jujur ketika mendengar istilah tersebut, pikiran saya menerawang jauh ke masa perkuliahan saya yang terdahulu, ketika saya masih akrab dengan komunitas interdenominasi kampus Petra yang banyak di antaranya berasal dari kaum karismatik.
Dalam banyak perbincangan tentang makna firman Tuhan, banyak di antara mereka mengatakan bahwa firman Tuhan adalah sebuah surat cinta dari Tuhan. Benar memang, namun sering kali pikiran saya tergelitik dengan istilah tersebut. Banyak di antara mereka yang asal menyebut istilah tersebut tanpa benar-benar mengerti makna dari istilah tersebut. Sering juga saya dapati istilah itu hanyalah menjadi sebuah slogan yang marak digunakan karena mereka sering mendengar istilah itu dari pendetanya.
Saya tidak membahas istilah ini untuk lebih jauh, namun yang menjadi perhatian saya adalah respon hati saya ketika mendengar istilah tersebut. Jujur ketika mendengar khotbah Pdt. John melalui istilah tersebut, kecenderungan hati saya akan menerima istilah itu dengan mudah. Saya tersentak, saya mendapati diri saya berada di dalam sikap hati yang tidak tepat. Maksud saya adalah terdapat perbedaan pada sikap hati saya ketika mendengar firman Tuhan dari seorang pengkhotbah yang "terkenal" dengan firman Tuhan dari sharing orang yang "biasa-biasa saja." Saya terkejut bahwa ada kecenderungan hati ini untuk mendengar dari siapa, bukan mendengar apa yang diberitakan. Saya terkejut bahwa saya cenderung memperhatikan siapa yang memberitakan, bukannya apa yang diberitakan.
Kalau pemberitanya adalah orang yang kita hormati, maka kita akan mudah menerimanya. Namun kalau pemberitanya adalah orang yang biasa-biasa saja, maka ada kecenderungan untuk meremehkannya, komentar kita adalah, "itu mah, saya sudah tahu." Sikap hati seperti ini seringkali menghambat kita untuk mendengar firman Tuhan dan akhirnya kita mendapati diri kita kehilangan maksud Tuhan dalam hidup kita.
Hati yang ingin terus dibentuk melalui firman Tuhan tanpa memperhatikan siapa yang menyampaikannya merupakan modal yang harus kita miliki. Sebuah istilah surat cinta Tuhan telah menjadi sebuah pembelajaran bagi respon hati saya. Bagaimana dengan kita?