Jumat, 10 Juli 2009

Sebuah Pelajaran dari Bunga di Padang

Baru-baru ini saya sempat berjalan menyusuri jalan setapak di kampus tercinta SAAT. Ada satu hal yang menarik perhatian saya ketika menyusuri jalan setapak tersebut, dan akhirnya membuat saya berhenti lalu merenungkan sesuatu. Sekelompok bunga yang merekah dengan indahnya menunjukkan betapa kreatifnya Allah yang menciptakannya. Saya kemudian teringat dengan sebuah perkataan Tuhan Yesus mengenai sekuntum bunga ini.
Perhatikanlah bunga bakung, yang tidak memintal dan tidak menenun, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu (Luk. 12:27).
Perlahan-lahan saya mengamatinya dan akhirnya tersadar akan sesuatu. Allah yang luar biasa itu mengajak kita untuk menarik pelajaran dari sebuah hal yang kecil, yaitu bunga. Maka ijinkan saya untuk membagikan beberapa hal yang saya pelajari dari sekuntum bunga tersebut.

Pertama, bunga itu tumbuh dan merekah hari ini dan akan layu keesokan harinya. Saya mulai merenungkan hidup yang singkat ini. Kita hidup tenggelam dalam kesibukan dan aktifitas yang terus menuntut kita untuk bekerja dan bekerja. Ada juga di titik ekstrim yang lain kecenderungan untuk menyia-nyiakan waktu yang ada dengan hiburan atau hanya sekadar bermalas-malasan. Fakta berbicara bahwa seringkali kita melupakan bahwa hidup ini singkat. Saya menyadari bahwa kita agaknya lebih banyak menghabiskan waktu ini untuk sesuatu yang sia-sia. Begitu sedikitnya waktu yang kita pakai untuk merenungkan hidup kita di hadapan Allah yang mengaruniakannya. Saya takut jika suatu saat nanti Allah meminta pertanggungjawaban hidup ini dan kita tak dapat memberikan jawabannya karena kita terlalu sibuk dengan aktifitas harian kita tanpa mengerti kehendak Allah dalan keseharian hidup kita dan mengerjakan sesuatu yang benar-benar penting dalam hidup ini. Saya teringat dengan sebuah pepatah yang mengatakan bahwa berpikirlah sama seperti engkau akan hidup seratus tahun lagi, namun bertindaklah sama seperti engkau akan hidup satu hari lagi. Setiap orang menjalani hidup yang singkat, namun yang membedakannya adalah cara hidup dan hasil kerja mereka. Bunga itu begitu kecil dan seringkali tidak dianggap begitu penting, namun ia memilih untuk terus merekah karena  ia memang diciptakan untuk itu. Bagaimana dengan kita? Sekalipun hidup ini singkat, akankah kita akan "merekah", melakukan sesuatu yang harus kita kerjakan karena Allah menginginkannya, menjadi berkat bagi sekeliling kita?

Kedua, bunga itu merekah mengikuti arah sinar matahari. Saya akhirnya menyadari bahwa untuk merekah saja tidak cukup. Banyak orang yang kelihatannya sukses dan malakukan banyak hal kebaikan sehingga seringkali membuat orang lain terkagum-kagum. Namun yang menjadi pertanyaan adalah dengan dasar motivasi apakah ia melakukannya? Mengenai hal Tuhan Yesus pernah mengecam ahli taurat dan kaum farisi mengenai kemunafikan hati mereka yang berdoa di tempat umum dengan motivasi untuk dilihat orang (Mrk. 12:38-40). Kita seharusnya "merekah" dengan sebuah motivasi hati yang tertuju pada Allah. Allah sendiri menghendaki kita untuk menjadi garam dan terang bagi sekeliling kita. Kita melakukan perbuatan baik karena kita mengasihi Allah. Paulus juga menekankan pentingnya sebuah pekerjaan baik yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh sebagai sebuah cerminan dedikasi kita bagi Allah.
Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23).
Saya teringat dengan filosofi SAAT yang menjajarkan banyak hal tentang ini, "For Christ, For the Church, For the World, For the Glory of God." Motivasi hati yang sejati adalah motivasi hati yang diarahkan kepada Allah, untuk memuliakan nama Tuhan di manapun kita berada. Bukankah Kristus juga menghendaki kita untuk menjadi terang supaya dari perbuatan-perbuatan kita, orang dapat memuliakan Bapa di sorga (Mat. 5:16)?

Bunga itu terus tumbuh sekalipun begitu banyak resiko yang dihadapi, kepanasan, kehujanan, ditiup angin, diabaikan orang, bahkan diinjak oleh orang-orang takkan menyurutkannya untuk merekah bagi Allah dan sekelilingnya. Bagaimana dengan kita?

Soli Deo Gloria.
10 Juli 2009

Selasa, 07 Juli 2009

Intermezzo dikit laa...

Waah, rasanya seneng juga ketika nge-liat blog sendiri..dasar katrok! =P
tapi rasanya hasrat utk menulis jadi kesalur dah..
fren, kalo dilihat dgn cermat tulisan2 yg ud diposting g semuanya update.
ada tulisan2 zaman jebot yg ku-posting lagi krn kupikir cukup baik isinya.
yah, ada yg kutulis wkt zaman kuliah S1 di univ tercinta UK Petra, tp ada juga yg terbaru wkt diriku berada seminari SAAT tercinta (cth:The Second Man).
di akhir tulisan akan ditulis keterangan pembuatannya.
anyway, semoga temen2 terberkati dgn tulisan2 ini.
mohon masukannya krn si penulis katrok ini masih belajar utk menulis sebuah tulisan2 yg berbobot.
nuhun atuh, Soli Deo Gloria.

Dare to be Different

Seiring dengan kemajuan waktu semakin banyak orang yang makin meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang ada sebelumnya dan ingin membuat sesuatu yang beda, sesuatu yang belum ada sebelumnya. Tampil beda, memang banyak sekali yang menyuarakan semangat ini. Tapi apakah memang semangat ini benar-benar dikerjakan sepenuhnya? Katakanlah kaum yang paling menyuarakan semangat ini seperti kaum punk, yang disebut-sebut kaum yang membawa pembaharuan. Nah, kembali lagi, semangat tampil beda mereka telah dilawan dengan kebersamaan mereka sebagai kelompok orang-orang yang mau tampil beda. Jadi, apa sih sebenarnya tampil beda itu?

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Roma 12:2).

Agree? Sebenarnya kekristenan juga sedang berbicara mengenai pola standar hidup yang berbeda dengan dunia ini. Banyak dari kita pasti setuju kalau hidup ini harus dijalani dengan standar Allah, namun banyak sekali dari kita juga ternyata menjalani hidup ini dengan standar dunia. Contohnya saja tentang prinsip ini;

Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Matius 7:12).

Adalah sesuatu yang sulit bagi kita mengingat apapun yang kita inginkan untuk orang lain perbuat bagi kita seringkali tak berawal dari inisiatif kita sendiri. Jangankan sesuatu yang baik, seringkali kita juga melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain. Ataukah ketika firman Tuhan katakan untuk mengasihi musuh kita, apa yang menjadi respon kita?
Jadi, apakah yang akan kita pilih? Standar Allah ataukah standar dunia? Maka kebanyakan dari kita akan menjawab pertanyaan ini dengan lugas; standar Allah. Benarkah? Saya ingin mengajak kita untuk melihat ini dari sisi yang lain, apakah kita memang masuk ke dalam standar Allah?
Berbicara tentang standar, tentu tak dapat terlepaspisahkan dengan yang namanya sudut pandang. Karena di dalam standar terdapat sudut pandang yang mendasari seseorang dalam menentukan standarnya. Nah, yang terjadi di dalam kehidupan nyata, banyak juga di antara kita yang mengaku memakai sudut pandang Allah namun sebenarnya memakai sudut pandang kita sendiri.
Salah satu contoh ketika kita, mahasiswa, sedang menghadapi ujian yang dapat dikatakan cukup sulit, bagaimana respon kita? Di saat itu kita akan berdoa, dan mengatakan bahwa: "terjadilah sesuai kehendakMu." Namun dalam kenyataan, ketika soal-soal yang dihadapkan pada kita begitu sulit, dan dalam realita kita tak mampu untuk mengerjakannya, maka tindakan kita akan berkata berlawanan dengan apa yang kita perkatakan, kita menyerah... Lebih bahaya lagi kalau ternyata kita memilih untuk menggunakan cara-cara yang tidak benar, bahasa gaulnya: mencontek!
Selanjutnya apabila hasil yang keluar tak sesuai dengan harapan kita maka kebanyakan dari kita akan langsung patah semangat, dan buruknya ketika kita berlarut-larut dalam sebuah keputusasaan. Padahal firman Tuhan sedang berkata: Bersukacitalah senantiasa!
Bagaimana dengan setiap kita yang menatap masa depan seakan-akan begitu pesimis, dengan alih-alih bahwa cuma Tuhan yang tahu dan seringkali dikira sebagai sebuah pandangan yang rendah hati. Padahal Allah menjanjikan sebuah masa depan yang gilang gemilang, sebuah masa depan yang penuh harapan.

Dare to be different, sedang berbicara tentang bagaimana kita menyatakan kemuliaan Allah di tengah-tengah kehidupan, pergaulan, komunitas, bahkan di tengah keluarga kita. Berubah dari pikiran kita yang memandang diri kita dari sudut pandang Allah, kemudian keluar sebagai perilaku bahkan perkataan kita yang memancarkan kemuliaan Allah dalam kita. Ketika orang-orang melihat sesuatu yang berbeda di dalam kita, yaitu nilai-nilai Kerajaan Allah, maka semakin banyak orang yang memuliakan Tuhan. Bukankah itu yang kita rindukan?

Ditulis dalam artikel Buletin Pelayanan Mahasiswa Universitas Kristen Petra 2007

Senin, 06 Juli 2009

The Second Man

Suatu saat saya mengalami sebuah pengalaman unik ketika kembali ke SAAT dari liburan pertama saya. Saat itu teman-teman menghampiri saya dan beberapa di antaranya bertanya tentang liburan saya dan aktivitas selama itu. Saya hanya menjawab pertanyaan demikian dengan sebuah jawaban singkat, menjadi PRT. Tentu saja PRT yang dimaksud di sini bukanlah Pak RT, melainkan Pembantu Rumah Tangga.
Benar, jika rekan-rekan seangkatan yang lain mempunyai jadwal rekreasi hingga jalan-jalan, maka saya telah mempunyai jadwal mengurus kebutuhan rumah tangga selama liburan. Mulai dari menyapu, mencuci, mengepel, pergi ke pasar hingga memasak menjadi jadwal saya sehari-hari. Jujur saat itu saya merasa bahwa sepertinya saya sedang melakukan hal yang tidak perlu, atau lebih tepatnya hal yang kurang penting. Hal ini membawa saya kepada sebuah perenungan tentang sebuah peran yang dipandang kurang penting namun sangat signifikan.
Saya akhirnya mencoba berandai-andai bahwa apa yang terjadi dengan dunia ini jika tidak ada seorangpun yang mau mengambil posisi "pembantu", atau "orang kedua". Saya yakin bahwa dunia akan kacau balau, jalan-jalan raya akan kotor, sampah menumpuk di mana-mana, singkatnya semua akan kacau balau.
Dengan demikian saya melihat bahwa banyak orang yang ingin berada pada posisi pertama, tetapi sedikit sekali yang siap untuk berada pada posisi ke-2, ke-3, dst. Bahkan tema-tema yang nampaknya rohani dan dikumandangkan di seminar-seminar motivasi, bahkan hingga di gereja seakan-akan memotivasi kita untuk berada di posisi pertama. Namun yang menjadi fakta adalah tidak semua kita berada di posisi pertama, dan kita seringkali tidak menyadari peran kita untuk menjadi pendukung orang pertama.
Paulus di dalam tulisannya kepada jemaat Korintus di dalam 1 Korintus 12, mengungkapkan kesatuan gereja yang dianalogikan sebagai tubuh Kristus. Jemaat digambarkan terdiri dari beranekaragam posisi dan peranan yang digambarkan sebagai tangan, kaki, maupun mata. Yang menarik adalah Paulus menekankan bahwa justru bagian-bagian yang nampaknya paling lemah itulah yang paling dibutuhkan (ay. 2). Ia menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai posisi-posisi tertentu dan tidak ada seorangpun yang dapat menyandang status superpower (ay 28-30). Paulus secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa posisi-posisi yang kelihatan kurang penting sebenarnya memegang peranan yang penting dan gereja haruslah menyadarinya.
Hingga tulisan ini di-posting, kampanye-kampanye calon presiden masih marak kita temui di jalan-jalan. Saya sempat berdiskusi dengan seorang rekan dalam menyikapi kampanye-kampanye tersebut dan menemukan bahwa pencitraan seorang calon presiden yang nampaknya begitu berkarisma, berkarakter, serta nyaris sempurna tak terlepas dari tim sukses di balik kampanye tersebut. Dengan demikian saya akhirnya menyimpulkan bahwa di balik kesuksesan seorang pemimpin, ada pengikut-pengikut yang setia dan kompeten.
Kita tentu menyadari peranan Paulus sebagai rasul yang dipakai oleh Allah secara luar biasa. Ia menulis sebagian besar dari Perjanjian Baru dan pandangan-pandangannya menjadi titik acuan doktrin kekristenan selama ini. Menarik bahwa Paulus juga sebenarnya mempunyai seorang second man di balik kesuksesannya. Adalah seorang Barnabas yang diinformasikan oleh Kisah Para Rasul sebagai orang Lewi-Siprus yang menjual ladang miliknya dan menyerahkannya kepada rasul-rasul (Kis. 4:36-37). Ia adalah orang yang berani menerima Saulus (Paulus) di tengah penolakan murid-murid yang lain terhadap Saulus yang terkenal dengan track record-nya sebagai seorang penganiaya orang Kristen. Barnabas yang adalah first man, tampil sebagai mentor, sahabat, sekaligus sebagai rekan sekerja Paulus yang adalah second man.
Yang menarik bahwa kita akan menemukan sebuah indikasi bahwa penulis Kisah Rasul (12:25, band. 13:42) menunjukkan secara tidak langsung mengenai perubahan pengaruh (posisi) Paulus yang melebihi Barnabas. Jika sebelumnya selalu didapati frasa "Barnabas dan Paulus", maka selanjutnya kita akan menemui frasa "Paulus dan Barnabas". Singkatnya, Paulus telah menjadi first man, dan Barnabas telah menjadi second man.
Bagaimana kiprah Barnabas sebagai second man? Kita akan menjumpai sebuah kondisi perselisihan antara Paulus dan Barnabas dikarenakan penolakan Paulus terhadap Markus yang pernah mengecewakannya dalam pelayanan (Kis. 15:36-40). Namun Barnabas tetap melaksanakan "peran kecil"-nya sebagai orang yang menerima orang lain dan menerima Markus sebagai rekan kerjanya. Akhirnya Paulus pergi dengan Silas, sedangkan Barnabas pergi dengan Markus. Menarik bahwa ternyata Paulus akhirnya "mengakui kekeliruannya" dan secara tidak langsung mengakui peran Barnabas dalam menerima Markus (2Tim. 4:11).
Pemaknaan Second Man ini mengingatkan saya pada seorang Hellen Keller. Ia adalah seorang yang buta dan tuli sejak kecil dan tumbuh menjadi anak yang liar. Namun ternyata Hellen Keller dikenal sebagai orang yang memberikan inspirasi terhadap banyak orang dan mencapai kesuksesan dengan meraih Magna Cum Laude (Harvard University), Honorary University Degrees Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, The Lions Humanitarian Award, serta 2 piala Oscar. Sungguh merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dari seorang anak yang buta dan tuli. Dunia mengenalnya sebagai first man yang bertemu dengan pemimpin-pemimpin dunia dan menginspirasi banyak orang. Namun sadarkah kita bahwa ia ternyata mempunyai second man dalam hidupnya? Anne Mansfield Sullivan adalah seorang guru privat yang mendidiknya dari kecil, dan bisa dikatakan sekadar sebagai mentor pribadinya. Namun fakta juga mengatakan bahwa nama seorang Hellen Keller lebih dikenal daripada Anne Sullivan. Namun jangan lupa bahwa tanpa seorang Anne Sullivan, takkan pernah ada seorang Hellen Keller yang kita kenal hingga saat ini.
Bukankah kita juga sekarang hadir dengan berbagai peranan second man dalam kehidupan kita? Entahkah sebagai asisten, pegawai, rekan kerja, sekretaris, wakil, ataupun seorang yang menjadi anggota biasa saja? Namun pernahkah kita menyadari bahwa posisi kita tersebut merupakan pemberian Allah dan posisi tersebut sangatlah signifikan?
Saya merenungkan pribadi agung Yesus Kristus yang tampil sebagai second man yang melaksanakan peran-Nya. Ia yang dalam kesetaraan-Nya dengan Allah tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan mengambil rupa seorang hamba menjadi sama dengan manusia. Bahkan dalam rupa manusia itu, Ia merendahkan diri-Nya hingga mengambil jalan salib untuk menebus dosa kita. Bukankah ia seringkali tidak dianggap penting bahkan dihina? Allah memanggil kita untuk menjalankan peran kita sekalipun hanya dalam posisi second man. Bukankah seharusnya kita seperti Yohanes Pembaptis yang dengan penuh kesadaran menyadari bahwa Kristus yang harus semakin besar dan kita yang semakin kecil?
Sekarang, siapkah kita menjadi seorang "Second Man"?


Disampaikan pada Chapel Pagi SAAT 1 Juli 2009.

Akhirnya kesampaian..=P

Wah, ini pertama kalinya nge-blog...
padahal udah sekian lama pengen tapi ada aja halangannya..=P
hingga pada hari ini, jam ini, dan detik ini saya akhirnya menyampaikan postingan perdana.
doakan saja biar postingan2 berikutnya bisa muncul dengan konsisten n memuliakan Tuhan.
i pray dat all of u who read this message can find sumthin in ur life, drawing u near to Him
Soli deo Gloria