Senin, 06 Juli 2009

The Second Man

Suatu saat saya mengalami sebuah pengalaman unik ketika kembali ke SAAT dari liburan pertama saya. Saat itu teman-teman menghampiri saya dan beberapa di antaranya bertanya tentang liburan saya dan aktivitas selama itu. Saya hanya menjawab pertanyaan demikian dengan sebuah jawaban singkat, menjadi PRT. Tentu saja PRT yang dimaksud di sini bukanlah Pak RT, melainkan Pembantu Rumah Tangga.
Benar, jika rekan-rekan seangkatan yang lain mempunyai jadwal rekreasi hingga jalan-jalan, maka saya telah mempunyai jadwal mengurus kebutuhan rumah tangga selama liburan. Mulai dari menyapu, mencuci, mengepel, pergi ke pasar hingga memasak menjadi jadwal saya sehari-hari. Jujur saat itu saya merasa bahwa sepertinya saya sedang melakukan hal yang tidak perlu, atau lebih tepatnya hal yang kurang penting. Hal ini membawa saya kepada sebuah perenungan tentang sebuah peran yang dipandang kurang penting namun sangat signifikan.
Saya akhirnya mencoba berandai-andai bahwa apa yang terjadi dengan dunia ini jika tidak ada seorangpun yang mau mengambil posisi "pembantu", atau "orang kedua". Saya yakin bahwa dunia akan kacau balau, jalan-jalan raya akan kotor, sampah menumpuk di mana-mana, singkatnya semua akan kacau balau.
Dengan demikian saya melihat bahwa banyak orang yang ingin berada pada posisi pertama, tetapi sedikit sekali yang siap untuk berada pada posisi ke-2, ke-3, dst. Bahkan tema-tema yang nampaknya rohani dan dikumandangkan di seminar-seminar motivasi, bahkan hingga di gereja seakan-akan memotivasi kita untuk berada di posisi pertama. Namun yang menjadi fakta adalah tidak semua kita berada di posisi pertama, dan kita seringkali tidak menyadari peran kita untuk menjadi pendukung orang pertama.
Paulus di dalam tulisannya kepada jemaat Korintus di dalam 1 Korintus 12, mengungkapkan kesatuan gereja yang dianalogikan sebagai tubuh Kristus. Jemaat digambarkan terdiri dari beranekaragam posisi dan peranan yang digambarkan sebagai tangan, kaki, maupun mata. Yang menarik adalah Paulus menekankan bahwa justru bagian-bagian yang nampaknya paling lemah itulah yang paling dibutuhkan (ay. 2). Ia menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai posisi-posisi tertentu dan tidak ada seorangpun yang dapat menyandang status superpower (ay 28-30). Paulus secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa posisi-posisi yang kelihatan kurang penting sebenarnya memegang peranan yang penting dan gereja haruslah menyadarinya.
Hingga tulisan ini di-posting, kampanye-kampanye calon presiden masih marak kita temui di jalan-jalan. Saya sempat berdiskusi dengan seorang rekan dalam menyikapi kampanye-kampanye tersebut dan menemukan bahwa pencitraan seorang calon presiden yang nampaknya begitu berkarisma, berkarakter, serta nyaris sempurna tak terlepas dari tim sukses di balik kampanye tersebut. Dengan demikian saya akhirnya menyimpulkan bahwa di balik kesuksesan seorang pemimpin, ada pengikut-pengikut yang setia dan kompeten.
Kita tentu menyadari peranan Paulus sebagai rasul yang dipakai oleh Allah secara luar biasa. Ia menulis sebagian besar dari Perjanjian Baru dan pandangan-pandangannya menjadi titik acuan doktrin kekristenan selama ini. Menarik bahwa Paulus juga sebenarnya mempunyai seorang second man di balik kesuksesannya. Adalah seorang Barnabas yang diinformasikan oleh Kisah Para Rasul sebagai orang Lewi-Siprus yang menjual ladang miliknya dan menyerahkannya kepada rasul-rasul (Kis. 4:36-37). Ia adalah orang yang berani menerima Saulus (Paulus) di tengah penolakan murid-murid yang lain terhadap Saulus yang terkenal dengan track record-nya sebagai seorang penganiaya orang Kristen. Barnabas yang adalah first man, tampil sebagai mentor, sahabat, sekaligus sebagai rekan sekerja Paulus yang adalah second man.
Yang menarik bahwa kita akan menemukan sebuah indikasi bahwa penulis Kisah Rasul (12:25, band. 13:42) menunjukkan secara tidak langsung mengenai perubahan pengaruh (posisi) Paulus yang melebihi Barnabas. Jika sebelumnya selalu didapati frasa "Barnabas dan Paulus", maka selanjutnya kita akan menemui frasa "Paulus dan Barnabas". Singkatnya, Paulus telah menjadi first man, dan Barnabas telah menjadi second man.
Bagaimana kiprah Barnabas sebagai second man? Kita akan menjumpai sebuah kondisi perselisihan antara Paulus dan Barnabas dikarenakan penolakan Paulus terhadap Markus yang pernah mengecewakannya dalam pelayanan (Kis. 15:36-40). Namun Barnabas tetap melaksanakan "peran kecil"-nya sebagai orang yang menerima orang lain dan menerima Markus sebagai rekan kerjanya. Akhirnya Paulus pergi dengan Silas, sedangkan Barnabas pergi dengan Markus. Menarik bahwa ternyata Paulus akhirnya "mengakui kekeliruannya" dan secara tidak langsung mengakui peran Barnabas dalam menerima Markus (2Tim. 4:11).
Pemaknaan Second Man ini mengingatkan saya pada seorang Hellen Keller. Ia adalah seorang yang buta dan tuli sejak kecil dan tumbuh menjadi anak yang liar. Namun ternyata Hellen Keller dikenal sebagai orang yang memberikan inspirasi terhadap banyak orang dan mencapai kesuksesan dengan meraih Magna Cum Laude (Harvard University), Honorary University Degrees Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, The Lions Humanitarian Award, serta 2 piala Oscar. Sungguh merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dari seorang anak yang buta dan tuli. Dunia mengenalnya sebagai first man yang bertemu dengan pemimpin-pemimpin dunia dan menginspirasi banyak orang. Namun sadarkah kita bahwa ia ternyata mempunyai second man dalam hidupnya? Anne Mansfield Sullivan adalah seorang guru privat yang mendidiknya dari kecil, dan bisa dikatakan sekadar sebagai mentor pribadinya. Namun fakta juga mengatakan bahwa nama seorang Hellen Keller lebih dikenal daripada Anne Sullivan. Namun jangan lupa bahwa tanpa seorang Anne Sullivan, takkan pernah ada seorang Hellen Keller yang kita kenal hingga saat ini.
Bukankah kita juga sekarang hadir dengan berbagai peranan second man dalam kehidupan kita? Entahkah sebagai asisten, pegawai, rekan kerja, sekretaris, wakil, ataupun seorang yang menjadi anggota biasa saja? Namun pernahkah kita menyadari bahwa posisi kita tersebut merupakan pemberian Allah dan posisi tersebut sangatlah signifikan?
Saya merenungkan pribadi agung Yesus Kristus yang tampil sebagai second man yang melaksanakan peran-Nya. Ia yang dalam kesetaraan-Nya dengan Allah tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan mengambil rupa seorang hamba menjadi sama dengan manusia. Bahkan dalam rupa manusia itu, Ia merendahkan diri-Nya hingga mengambil jalan salib untuk menebus dosa kita. Bukankah ia seringkali tidak dianggap penting bahkan dihina? Allah memanggil kita untuk menjalankan peran kita sekalipun hanya dalam posisi second man. Bukankah seharusnya kita seperti Yohanes Pembaptis yang dengan penuh kesadaran menyadari bahwa Kristus yang harus semakin besar dan kita yang semakin kecil?
Sekarang, siapkah kita menjadi seorang "Second Man"?


Disampaikan pada Chapel Pagi SAAT 1 Juli 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar