Jumat, 01 April 2011

Berteologi dalam Irama Reality Show

Pagi ini penulis berkesempatan menonton sebuah acara reality show yang ditampilkan oleh salah satu stasiun televisi lokal. Acara tersebut secara khusus menampilkan sebuah realita kehidupan kaum marjinal yang terhimpit oleh kerasnya kehidupan saat ini. Sebuah keluarga yang sangat sederhana, bahkan bisa dikatakan berada di bawah garis normal, terlilit hutang kepada berbagai pihak. Kedua orang ini bekerja keras demi membiayai sekolah kedua anaknya yang masih SD tersebut, namun apa daya, penghasilan yang didapat tak dapat memenuhi tuntutan biaya sekolah. Tim reality show mengunjungi keluarga ini, dan singkat cerita, mereka membantu melunasi hutang sekolah anak-anaknya. Keluarga ini sangat bersukacita, deraian air mata mengalir dengan deras ketika mengetahui bahwa kedua anak mereka dapat bersekolah lagi. Menariknya, di akhir dari acara ini, ditampilkan sebuah tulisan, “Selalu ada harapan bagi mereka yang menanti-nantikan TUHAN.” Penulis terhenyak, kaget bukan kepalang. Mengapa? Pertama, awalnya memang ada kecurigaan dalam diri penulis terhadap keotentisitasan reality show ini, karena image sebuah acara reality show selama ini yang lekat dengan rekayasa. Namun ketika menyaksikan acara ini, dalam asumsi penulis tentunya, perlahan-lahan image itu meluruh, dan penulis dapat melihat sisi keotentisitasan kisah yang ditampilkan ini. Tentu penulis punya alasan yang kuat, dan tentunya tulisan ini tidak sedang membahas keaslian acara reality show ini.  Singkatnya, penulis yakin bahwa kisah yang ditampilkan adalah sebuah fakta dan realita yang tidak diekploitisir dengan tidak bertanggungjawab. Kedua, penulis terkejut ketika sebuah tulisan seperti yang telah disebutkan di atas tampil di akhir acara. Tidak banyak acara, bahkan hanya dihitung dengan jari saja, yang menampilkan wacana semacam itu dengan jelas. Tulisan tersebut, singkat, namun sangat bermakna. Bermakna kepada setiap penontonnya, semua lapisan, apa lagi ketika ada yang memiliki pergumulan serupa, yakni untuk menaruh harapan kepada Tuhan. Ketiga, penulis mendapati bahwa reality show ini ternyata dikonsep oleh seorang hamba Tuhan, yang namanya tidak asing di telinga penulis. Memang hamba Tuhan tersebut memiliki beban khusus untuk melayani kaum marjinal. Namun bagi penulis, inilah salah satu terobosan dalam kehidupan kesaksian iman Kristen di negeri ini. Penulis merasa, sedikit sekali metode kreatif yang digunakan untuk mewartakan kesaksian iman Kristen sampai saat ini. Inilah salah satu metode kreatif tersebut, menampilkan kesaksian iman Kristen, sekaligus mewartakan firman Tuhan dengan cara yang kontekstual. Reality show ini membuat penulis kembali merefleksikan sejauh mana iman Kristen bergaung dalam kehidupan berbangsa saat ini. Di tengah maraknya filsafat dunia dan turbulensi budaya saat ini, bagaimana iman Kristen digaungkan? Dalam titik tertentu, iman Kristen digaungkan tanpa strategi. Bermakna, namun tidak up to date. Bagaikan sebuah produk unggulan, namun minim kemasan dan promosi. Alhasil, iman Kristen akhirnya lekat dengan sebuah citra iman tradisional, yang tenggelam oleh pergeseran filsafat dan budaya masa kini. Dalam praktiknya, masih banyak orang-orang di luar sana yang tidak terjangkau, baik secara berita iman, maupun sentuhan kasihnya. Oleh karena itu, penulis berpikir, setidaknya ada dua hal yang perlu untuk diperhatikan mengenai hal ini. Pertama, berita iman Kristen perlu digaungkan dengan strategi yang tepat dan benar. Tepat, berarti hal ini digarap secara up to date, kontekstual, bijaksana, dan terorganisir. Benar, berarti hal ini dilakukan dengan maksud yang murni, yakni untuk mengabarkan berita keselamatan kepada semua bangsa. Biarlah Injil Kristus dikumandangkan kepada semua lapisan; baik mereka yang marjinal, ataupun mereka yang non-marjinal; baik mereka yang tidak terdidik, maupun mereka yang terdidik; semua orang. Kedua, berita iman Kristen perlu digaungkan dengan makna. Bagi penulis, berita tersebut harus menjelma menjadi sebuah makna, bukan hanya sebuah wacana dogmatis belaka, namun menjadi sebuah praksis kasih Kristus yang diwartakan. Kasih Allah itulah yang menjadi pendobrak bagi kekerasan hati manusia; yakni kasih Allah yang dinyatakan melalui anak-anak Tuhan, Anda dan saya. Mungkin kita perlu memaknai kata-kata yang diucapkan oleh Mother Theresa, salah satu hamba Tuhan yang juga mewartakan berita kasih Allah ini: "Spread the love of God through your life but only use words when necessary." Penulis, menitikkan air mata ketika ending acara ini menunjukkan bagaimana keluarga ini melunasi hutang biaya sekolah. Penulis membayangkan, bagaimana mereka bersyukur, ketika program reality show ini muncul sebagai jawaban pergumulan mereka. Entah keluarga ini sudah mengenal Allah ataukah belum, namun penulis berharap dan berdoa, melalui program ini, mereka dapat mengenal Kristus. Faktanya, masih banyak mereka di luar sana, yang hidup dalam pergumulan, menantikan pertolongan Tuhan melalui anak-anak Tuhan, Anda dan saya. Entah mereka sudah mengenal Tuhan atau belum, namun tugas kita adalah mewartakan kasih Allah ini kepada mereka, sampai kedatangan Tuhan kembali. Berteologi dalam irama reality show, bukan berteologi dalam drama reality show. Berteologi dalam irama reality show, bukan berteologi tanpa reality. Berteologi dalam irama reality show, bukan satu-satunya, namun mungkin inilah salah satu jawaban bagi kita. Selamat memaknai dan berteologi. Salam dari Departemen Mata Kuliah Umum Universitas Kristen Petra.